Tubuhku dan springbed seolah-olah menyatu, seperti ada perekat yang menyatukan kami berdua. Aku enggan beranjak dari tempat peristirahatanku yg setia menemaniku melewati malam hingga berlalu. Kumulai meraba-raba tempat tidurku, tentunya mencari ponselku. Aku ingin melihat nama pangeranku ada atau gak disana. Sepanjang malam berotasi, hanya tubuhku yang beristirahat tapi tidak dengan pikiranku yang cemas hingga pagi menjemput. Aku tidur tapi aku tidak tidur.
“God Job, belum ada kabar darimu, pertahankan !” gumamku kesal.
“Dasar cowok gak ngerti banget sih perasaan cewek, gue juga bisa kok hidup tanpa loe, tanpa kabar dari loe, tanpa tegur sapa loe diponsel gue. Elo gak peduli, oke gue bisa lebih gak peduli. Gue janji gak akan hubungi loe lagi”. Semua kekesalanku kulampiaskan pada ponselku, kalo handphoneku bisa ngomong nih yaa pasti dia bakalan jawab : “loe yang punya masalah, kok gue yang kena sih. Loe pikir gue ini “tong sampah” tempat pembuangan kekesalan loe..” Hihiii lucu juga kalo handphone bisa ngomong. Tapi dia hanyalah benda mati yang punya tubuh tapi tak bernyawa kecuali dia pakai oksigennya yaitu baterai.
Anyway, hidup harus tetap jalan dong. Tanpa atau dengan kabar darinya sekalipun. Cowok yang selalu ngaku care tapi sebenarnya gak pernah care sama perasaan ceweknya.
“Grace kok belum mandi sih sayang, entar telat loh kesekolah”
“Iya mamaku yang cantik, ini mau mandi kok”
“Oke mama tunggu yaa”
“Siap Bos..”
Segera aku bergegas untuk on the way to school. Kejadian semalam, ya semalam gak boleh dibawa-bawa lagi ke hari ini, don’t be galau Grace. Semangat.
“Ma, Grace berangkat dulu yaa”
“Gak sarapan dulu ? Mama udah siapin
“Gak ahh Ma, Grace bawa bekal aja”
“Oke deh, hati-hati kamu ya”
“Dadaa mama emmuaachh”
“Dadahh Sayang”
Kulangkahkan kaki dari rumah menuju gerbang putih abu-abu.
Pagi yang indah...
Aku sangat menikmati udara pagi itu, sedikit berbeda dengan biasanya. Udara yang sejuk, bau khas embun pagi yang masih terasa, setetes embun berjatuhan dari dedaunan, kendaraan yang tak terlalu padat yang biasanya sangat menganggu telingaku. Mungkin karena hari ini aku sengaja datang lebih pagi lebih awal, karna aku mau caritau kabar tentang pangeranku, aku mau tau kenapa dia tak memberiku kabar.
“Pagi Cindy”
“Ehh elo Grace, tumben nih datang cepat. Ada apa gerangan?”
“Gakpapa sih lagi mood datang cepat aja. Ehh loe lihat Ryand ?”
“Ohh jadi Ryand toh alasannya, dasar loe...” Gue gak lihat daritadi, mungkin belum datang
“Ohyauda, thanks for your inform. Gue cari dia dulu ya.”
Hati gundah gulana menunggu kehadirannya. Eh tunggu dulu, tapi tadi pagi kan gue janji gak mau peduliin dia lagi, dia aja gak peduli ngapain juga gue harus peduli. Dilema ! Itu yang kualami. Satu sisi aku sangat rindu padanya, ingin rasanya menatap kedua bola matanya lagi, merasakan hangatnya senyuman yg terangkai dari bibirnya, setiap pagi tak pernah lepas dari pandanganku. Tapi satu sisi, gensi dong, cewek duluan yang mulai. Dia yang salah kok, kenapa harus gue yang mulai. Idih gak lah yaa. Rasa gengsi ternyata lebih besar, daripada rasa penasaran.
“Ahh udah deh, entar juga pasti bisa kok lihat dia pas pulang sekolah. Pura-pura cuek aja deh. Entar kalo dia udah nyadar juga pasti jumpain gue minta maaf. Kalau dia minta maaf, akting dikit ahh, ngambek-ngambek kayak disinetron gitu, istilahnya “tarik ulur” pasti lucu deh lihat ekspresinya Ryand, hihihi..” senyum nakal terangkai dari bibirku.
Bel sekolah berbunyi menandakan pelajaran siap dimulai dan nyanyian derap sepatu para guru mulai terdengar memasuki kelas demi kelas. Akhirnya aku pun mengurungkan niatku untuk menunggu Ryand dan aku kembali ke kelas, siap mengikuti pelajaran yang sangat amat membosankan dan lengkap dengan rumus yang tak masuk akal. Pelajaran pertama disambut dengan “Fisika”. Gaktau apa orang lagi ‘galau’ tingkat 'Newton'.
V=s/t kecepatan sama dengan bblalalalaablaalaa. Membayangkannya aja udah membosankan apalagi pelajarannya diikuti, siap-siap sediaiin air dan bantal.
Sepanjang pelajaran berlangsung, mulutku bolak balik mengeluarkan hawa yang tak sedap dan yang jelas terbuka lebar pastinya. Dua les Fisika kayak seribu tahun bagiku. Lama banget berakhirnya. Pikiran tak fokus, mata yang udah dicharge lama tetap aja wattnya gak kuat kalo udah jumpa Fisika, otak yang menerawang kesana kemari mencari bayangan Ryand, dan mulut yang daritadi naik turun naik turun. Cetar membahana deh Fisika (kalau kata Syahrini). Kalau aku jadi Aladin yg dikasih 3 permintaan sama Jin, aku gak butuh 3 permintaan, tapi cukup satu aja. Pelajaran Fisika ini berlalu, dan kalau perlu Fisika ditiadakan dari dunia perhitungan.
“Tettttt........”
Akhirnya huffttt bernafas lega juga......
Segera kubereskan buku ku dan dengan kecepatan tinggi aku berlari mengejar Ryand agar tidak terjadi Tumbukan Lenting Tidak Sempurna (akibat sugesti pelajaran Fisika tadi kali ya). Walaupun tak terlalu mendengarkan tapi ada juga yang nyangkut diotak gue. Hebat loe Grace puji diri gue sendiri.
Dengan kecepatan tinggi dan usaha yang cukup keras, aku berhasil tiba dikelas Ryand..
Dan ternyata kelas udah kosong.......
Aku coba tanya pada salahsatu teman Ryand.
“Maaf kak, mau tanya Ryandnya udah pulang yaa, kok kelasnya kosong?”
“Oh Ryand gak masuk lagi, karna......”
“Ehh, buruan ada rapat OSIS, udah ditungguin tuh..”
“Oke, bentar ya""Maaf yaa dik kakak mau rapat OSIS udah ditungguin teman-teman tuh”
“Yahhh kak, tunggu dulu dong, penting banget nih”
“Gak bisa dik, besok-besok aja yaa kakak jelasin. Daaaahhh see you tommorow”
Aku tertunduk lesu dan lagi-lagi aku hanya bisa Pasrah, pasrah, dan pasrah...
Kamu kemana sih sayang. Dua hari enggak ada kabar. Aku cemas.. apa kamu tak merasakan kalau aku disini sangat mencemaskan keberadaanmuu. Kenapa kau tak kasih kabar sama sekali? Hari ini juga kamu tak masuk sekolah. Aku gak tau lagi harus berbuat apa.. Menunggu kabar darimu mengajarkanku arti ‘kesabaran’ dalam menunggu. Aku tak akan lelah menunggu kabar darimu sampai kabar itu datang, meskipun aku tak tahu harus berapa lama kabar itu terucap dari dirimu..
Andai aku kamu sayang...
Bersambung to "Andai Aku Kamu Part 3"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar