Kehadiranku
kedunia ini dimulai tujuh belas tahun yang lalu...
Ibu
dan ayah adalah salah satu orang tua yang paling bahagia dimuka bumi ini.
Kenapa aku katakan paling bahagia? Karena Ibu baru saja melawan semua rasa
sakit ketika bersalin, dan “ooeekkk oooeekkk” akhirnya suara mungil dari buah
hati yang sembilan bulan ditunggu kehadirannya terlantun sangat indah. Seorang
bayi mungil yang sangat cantik nan polos akhirnya tak terperangkap dalam rahim
sang ibu lagi, kini sang bayi dapat melihat keindahan dunia.
Senyum
terindah dan paling bahagia terukir manis di bibir Ayah dan Ibu. Orangtua mana
yang tak bahagia, melihat anaknya bisa melihat dunia, apalagi bayi kecil yang
dinanti-nantikan adalah buah hati pertama mereka. Ahh sungguh sempurna, aku bisa merasakan
kebahagiaan mereka saat itu.
Hari
demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun ayah
dan ibu senantiasa memberikan kasih sayang
yang sangat teramat berarti bagiku. Segenap jiwa raga mereka membesarkanku
hingga aku pun tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik, sederhana dan memiliki
etika yang baik. Paling utama yang diajarkan ayah dan ibu “etika” meskipun
keluargaku sederhana, kami tak pernah mengeluh atas anugerahNya. Kata-kata ayah
yang selalu terngiang ditelingaku, ayah dan ibu tak punya harta untuk
diwariskan pada anak ayah, tapi hanya nasihat dan ilmu yang dapat ayah dan ibu
berikan untuk bekalmu. Aku adalah satu-satunya “anugerah terindah” bagi mereka,
yaa itu karna aku anak tunggal dan bagiku ayah dan ibu adalah “anugerah
terindah” yang pernah kumiliki. Perlahan titik airmata mulai membasahi pipiku
mendengar kalimat yang terucap dari bibir ayah. Pangeran yang sangat aku
sayangi, bagiku ayah adalah pangeranku.
Ketika
usia ku mulai beranjak remaja, sama seperti anak-anak seusaiku , dunia mulai mengenalkan
dengan “Cinta”. Aku mulai jatuh cinta pada seorang pria. Pria yang akhir-akhir
ini membuat akal sehatku hilang. Wajahnya selalu terlukis tiap kali aku
memejamkan kedua kelopak mataku. Setiap kali mataku dengan matanya bertemu, tubuhku
seperti berada dibulan yang massa bulan dengan tubuhku tak lagi seimbang ,
setiap kali aku berada didekatnya aku merasakan degup jantungku yang tak karuan
seperti orang yang sedang dikejar anjing, aliran darahku juga seakan berhenti.
Apakah ini yang namanya ‘jatuh cinta' ?
Ayah
ternyata mengerti dengan perubahan putri satu-satunya yang saat ini melanda
diriku. Ayah bertanya padaku. “kamu kenapa, beda banget ayah lihat suka
senyum-senyum sendiri?”
“Ah ayah bisa aja, Nandine gakpapa kok.” Sambil melanjutkan anganku tentangnya
yang sempat hilang karena pertanyaan ayah yang membuatku jadi salah tingkah.
Kamu
lagi jatuh cinta ya? Kata ayah lagi padaku. Aku tak terlau jelas mendengar apa
yang dikatakan Ayah karena sorot mataku hanya menerawang kewajah pria yang
berhasil mencuri hatiku, aku pun meminta ayah untuk mengulanginya lagi. “apa
yah, Nadine gak dengar?”
“Tuh kan benar dugaan ayah kamu lagi jatuh cinta”
“enggak kok yah, ayah deh sok tau”
“ayo ngaku jangan ditutupin, cerita deh ke ayah”
Begitulah
ayahku, tak mau sedikitpun terlewati dari diri putri tunggalnya ini. Selalu
ingin tahu, kadang risih juga sih, tapi gimanapun ayah lah tempat curahan hati
ini. Ayah dan ibu dua pribadi yang selalu mendengar keluhanku, tapi ayah yang paling
semuanya deh dibandingkan ibu.
Dimana-mana anak cewek pasti dekatnya ke Ibu, tapi tidak dengan diriku.
“yah aku boleh tanya nggak?”
“tentu dong sayang”
“yah sebenarnya ‘jatuh cinta’ itu apa sih ? Seandainya Nadine sekarang lagNadine
boleh nggak minta izin ayah seandainya ada orang yang meminta Na ngerasain itu,
Nadine boleh gak pacaran ? ”
Aku
melihat raut wajah Ayah yang berubah mendengar pertanyaanku. Tiba-tiba nada
suara ayah berubah tak biasanya. Ayah mulai marah dan membentakku. Sosok Ayah
yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Menyeramkan.
“Apa maksud kamu, kamu mau minta izin Ayah untuk pacaran gitu?”
“Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan”
“Ayah tidak setuju kamu pacaran, kamu boleh minta apapun tapi tidak untuk hal
pacaran”.
“Yah Nadine kan udah dewasa, Nadine tahu kok mana yang terbaik untuk Nadine”
“Sekali ayah bilang tidak, tetap tidak. Ayah lebih tahu mana yang terbaik untuk
kamu” bentak Ayah dan meninggalkan diriku seorang diri diruang tamu.
Gerimis
kecil mulai membasahi pipiku. Aku sedih kenapa Ayah berkata seperti itu? Aku
tak pernah melihat Ayah semarah itu. Aku melihat sorot mata yang sangat tajam
dan marah saat aku meminta izin untuk pacaran. Aku tak mengerti. Sebuah
bayangan mulai memeluk erat tubuhku, ternyata bayangan itu Ibuku. Aku menangis
dipelukan Ibu.
“Bu, ayah kenapa?”
“Apa salah aku minta izin pacaran pada ayah? Aku kan udah dewasa”
“kamu gak salah, dan ayahmu juga gak salah. Mungkin waktunya belum tepat untuk
membahas itu. Kamu jangan sedih lagi ya” kata Ibu mencoba menenangkanku.
“Ibu sendiri memberi izin untuk Nadine pacaran?”
“Ibu tergantung pada ayahmu, ibu setuju kalau ayahmu juga setuju. Ibu takut
ayah marah pada Ibu. Sekarang lebih baik kamu belajar yang bagus dulu ya
sayang, kejar cita-cita kamu.”
“Iya bu, Nadine ngerti kok, Bu”
Semakin
Ayah dan Ibu melarang aku untuk pacaran, maka semakin kuat keinginanku untuk
merasakan yang nama nya “cinta”. Hatiku mulai dibutakan oleh “cinta” dan Nadine
yang dulunya penurut kini berubah jadi Nadine yang pemberontak karena “Cinta”.
Pikiran nakal terlintas dalam benakku, Ayah dan Ibu kayak gak pernah muda aja,
kayak gak pernah merasakan jatuh cinta. Anaknya kan udah gede. Masa pacaran aja dilarang sih. Kesal banget deh.
Keesokan
harinya, ternyata cowok yang aku kagumi mengungkapkan perasaannya padaku. Tak
kusangka, cintaku tak berptepuk sebelah tangan, kami sama-sama merasakan
tumbuhnya benih cinta dihati kami. Aku bingung harus berkata apa saat itu.
Pikiranku sangat kalut, bimbang, dan ragu untuk mengizinkannya hadir dihatiku
atau tidak. Aku terima gak ya? Kalau aku tolak, masak kesempatan ini disia-siain sih,
jarang-jarang loh aku jatuh cinta gak bertepuk sebelah tangan gini. Tapi kalau
aku terima, entar Ayah marah lagi. Tapi aku pengen donk sekali-sekali ngerasain
gimana sih pacaran itu. Masak umur segini masih “jomblo” aja, malu donk sama
temen-temen yang rata-rata udah punya pasangan.
Ahh terima aja deh, selama ayah dan ibu gaktau gak jadi masalah kan? Kataku
dalam hati. Tanpa pikir panjang dan obsesiku yang ngebet banget pengin
ngerasain gimana rasanya pacaran aku pun terima pria itu jadi “pacar pertamaku”
dengan syarat kami pacarannya “backstreet” jangan sampai Ayah dan Ibu tahu. Dia
pun setuju. Ternyata begini rasanya jatuh cinta dan memiliki pacar. Nasihat
ayah dan ibu mulai aku lupakan karna sudah dibutakan oleh cinta. Aku
sangat menikmati masa-masa ini, meskipun backstreet. Aku sangat menyanyangi
pria yang jadi pasanganku sekarang.
To Be Continued to Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar